PEMBERDAYAAN MASYARAKAT:
SEBUAH
KAJIAN PUSTAKA
Oleh: Hironimus Lagadoni Tukan
Pemberdayaan masyarakat
merupakan sebuah konsep alternatif pembangunan yang saat ini banyak dilakukan
oleh hampir semua elemen masyarakat. Sebagai sebuah konsep alternatif
pembangunan, pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah pendekatan atau strategi
yang penting dalam mengatasi kondisi
kemiskinan masyarakat, keterbelakangan, keterisolasian, ketidakadilan, baik
dari sisi kultural maupun struktural.
Berbagai fenomena
ketidakberdayaan masyarakat muncul disetiap bidang kehidupan seperti
ekonomi,Politik, pendidikan, kesehatan, sosial budaya, maupun sarana dan
prasarana.
Untuk itu pemberdayaan
dilakukan untuk menciptakan kemandirian
dan kesejahteraan hidup masyarakat baik secara pribadi maupun kolektif .
Pemberdayaan dimaksudkan sebagai upaya membebasakan masyarakat dari berbagai
tekanan kondisional baik disebebakan oleh keterbatasan sumber daya manusia
ataupun sumber daya alam, sumber daya
social dan aksesibilitas.
Berbagai ketidak berdayaan
ini merupakan suatu mata rantai yang saling berhubungan, saling mempengaruhi
sebagai sebuah persoalan yang kausalistik. Inilah realitas kemiskinan yang
sesungguhnya, sehingga pemberdayaan dimaknai sebagai upaya atau proses
penanggulangan kemiskinan masyarakat dari berbagai sisi kehidupan.
Sulistiyani (2004)[1]:19)
menyebut bahwa
fenomena kemiskinan yang terjadi di perkotaan dan di pedesaan membutuhkan
interversi pemberdayaan. Tujuannya ialah untuk meningkatkan derajat hidup
masyarakat, kesejahteraan dan keseimbangan di dalam banyak sisi kehidupan baik
lingkungan fisik maupun sosial.
Secara
konseptual menurut Sumodininggrat dalam Sulistiyani ( 2004)[2] kata pemberdayaan merupakan
istilah yang khas
di Indonesia. Jika diartikan maka sebenarnya pemberdayaan adalah usaha
yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain agar orang tersebut dapat
berbuat secara lebih dari kondisi kehidupannya sebelumnya.
Dalam ilmu sosial tradisional kekuasaan
berkaitan dengan pengaruh dan kontrol[3]. Sementara
itu istilah kekuasaan juga seringkali identik dengan kemampuan individu untuk
membuat dirinya atau pihak lain melakukan apa yang diinginkannya. Kemampuan
tersebut baik untuk mengatur dirinya, mengatur orang lain sebagai individu atau
kelompok/organisasi, terlepas dari kebutuhan, potensi atau keinginan orang
lain. Dengan kata lain, kekuasaan menjadikan orang lain sebagai objek dari
pengaruh atau keinginan dirinya.[4]
Margot Breton, 1994 dalam Sutoro Eko (2004)[5] menyebut
gagasan pemberdayaan masyarakat berangkat dari realitas objektif yang merujuk
pada kondisi struktural yang timpang dari alokasi kekuasaan dan pembagian akses
sumber daya masyarakat. Konsep ini sebenarnya melihat pelaksanaan sistem
pembangunan yang dilaksanakan oleh institusi dalam sebuah negara, daerah atau
komunitas tertentu dimana konsep pembangunan yang dilaksanakan telah
menimbulkan berbagai ketimpangan yang mengakibatkan kondisi masyarakat tidak
sejahatera, terjadinya
dominasi dan kewenangan dimana terdapat adanya pihak yang berkuasa dan pihak
yang dikuasai. Dengan demikian praktek hegemonisasipun tercipta dalam
pelaksanaan pembangunan.
Margot Breton menyebut pemberdayaan sebagai
sebuah konsep yang dirumuskan menurut cara pandang developmentalisme (modernisasi) dengan menempatkan kegagalan atau
ketimpangan dalam pembangunan sebagai akibat adanya faktor struktural. Hal ini
dapat juga dimaklumi bila dikaji dari pengalaman pembangunan yang sentralistik
dan top down di masa yang lalu.
Dengan demikian pemberdayaan muncul sebagai gerakan yang
merespon paradigma pembangunan ke arah yang diyakini mampu untuk mengakomodir
pola pembangunan yang bersifat bottom up. Artinya proses pembangunan
dilaksanakan mulai dari bawah.
Bila dikaji lebih jauh, sebenarnya letak dari
ketimpangan sebagaimana yang disebutkannya di atas bukan hanya pada kondisi
terjadinya ketimpangan dan sistem pembagian akses sumber daya melainkan pada
kapasitas para pelaku pembangunan yakni manusianya. Sebab manusialah yang
melaksanakan, menggerakan bahkan yang menciptakan institusi beserta mekanisme
dan pembagian
akses sumber daya. Ketimpangan kondisi struktural dan pembagian akses sumber
daya merupakan akibat lanjutan dari kurangnya kapasitas yang dimiliki oleh para
pelaku pembangunan. dari mana kurangnya kapsitas yang dimiliki oleh para pelaku
maupun pelaksana pembangunan? tentu menjadi sebuah pertanyaan yang bisa kita
jawab dari apa yang dikatakan oleh Margot berton tersebut di atas.
Disisi lain dampak dari hal tersebut
memunculkan sikap apatisme, kurangnya partisipasi, rasa malas bahkan cemburu
dan curiga. inakuntabilitas sehingga berdampak pada inevisiensi dan
inefektivitas. Ketidakberdayaan masyarakat muncul dari ketidakberdayaan sosial
yang lain sehingga turut memicu berbagai kesenjangan di berbagai aspek seperti
aspek sikologis dan sebagainya.
Pemberdayaan dimaksudkan untuk memfasilitasi, mendorong,
menggerakan dan menumbuhkembangkan potensi sumberdaya manusia, sumber daya alam
dan sumber daya sosial untuk menciptakan kemandirian dan kesejahteran. Robert
Chambers, (1995) menyebutkan bahwa pemberdayaan merupakan konsep pembangunan
ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial, sehingga pemberdayaan menjadi sebuah konsep yang membangun paradigma baru yakni bersifat “people-centered, participatory, empowering,
and sustainable”.[6]Teori ini merupakan sebuah refleki kritis
Robert Chambers atas dinamika sosial yang meletakan bahwa manusia adalah
subjeknya sekaligus mempertegas eksistensi manusia. Bertolak dari teori ini,
maka proses pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui berbagai strategi dan
pendekatan yang lebih menekankan pada manusia sebagai pelaku pembangunan dan
dinamika lingkungan sosial yang mempengaruhi proses pemberdayaan tersebut.
Pendekatan yang menekankan pada aspek manusia barangkali merupakan hal utama
yang menentukan berhasil tidaknya sebuah pelaksanaan pembangunan termasuk
kemandirian dan kesejahteraan yang berkesinambungan.
Eksistensi manusia sebagai mahkluk
sosial merupakan sebuah hakikat yang ultim dimana eksistensi manusia tidak
hanya ditentukan oleh dirinya sendiri melainkan dipengaruhi sebuah interaksi
baik anatara manusia dengan manusia, tetapi juga manusia dengan lingkungan alam
sekitarnya termasuk institusi sosialnya. Relasional antara manusia dengan
manusia ataupun manusia dengan alam dan lingkungan sosialnya menjadi sebuah
medan dimana manusia menemukan arti dan makna hidup bagi dirinya termasuk
bagaimana upaya membangun kehidupan yang sejahtera termasuk kehidupan ekonomi.
Dalam konteks pemberdayaan masyarakat
sebagaimana yang dikatakan Robert Chambers diatas, merupakan sebuah refleksi
kritis atas dinamika pembangunan masyarakat yang selalu berusaha mengatasi persoalan
kemiskinan dimana ekonomi merupakan sebuah tujuan baik sebagai penyebab maupun
akibat dari apa yang dikatakan sebagai kemiskinan.
Dalam upaya mencapai kemandirian dan kesejahteraan hidup, ekonomi
menjadi sebuah faktor dominan yang cenderung bahkan menjadi sentral dari
perhitungan dan pengukuran tentang kesejahteraan seiring dinamika sosial
masyarakat yang menggelobal ditengah arus persaingan idiologisasi
industrialisasi dan modernitas dewasa ini.
Walau demikian persoalan ekonomi bukan merupakan hal yang tiba-tiba
muncul dan berada pada dirinya sendiri melainkan hadir dan ada bersama dengan
hakikat manusia sebagai mahkluk sosial yang selalu berinteraksi bahkan
bergantung pada interaksi itu sendiri. Robert Chambers melalui teorinya
tersebut mencoba untuk merangkum realitas yang hakiki dan menemukan
pemberdayaan sebagai konsep yang dielaborasikan secara praktis.
Manusia adalah pencipta, pengembang, pemanfaat dan penikmat dari sebuah
interaksi baik pada tataran konseptual maupun diranah praktis implementasi,
semuanya bertujuan untuk memaknai dirinya dan kehidupannya.Jelaslah bahwa
manusia adalah awal dan akhir dari sebuah interaksi yang membentuk diri dan
hidupnya menjadi ada. Pemberdayaan hadir sebagai sebuah hasil reflektif manusia
dari proses interaksi yang amat panjang dan multidimensional. Pemberdayaan juga
hadir sebagai jembatan yang berusaha untuk menyamakan kondisi kehidupan manusia
untuk bersaing dalam kanca global yang penuh dengan persaingan untuk menjadi
malaikat pembela kaum miskin, tidak berdaya, keterbelakangan dan
ketradisionalan.
Pemberdayaan hanyalah konsep yang membawa misi advokasi mengatasnamakan
kesejahteraan ditengah ketertinggalan arus globalisasi.Ia bervisi humanis
tetapi politis. Artinya bahwa konsep
pemberdayaan adalah sebuah kata yang mendekatkan manusia pada pengalaman
praktis yang perlu disiasati dengan cara atau strategi dan pendekatan (Politis)
yang dapat menjadi instrumen misalnya pendidikan dan pelatihan, yang dilakukan
dengan pendampingan khusus sesuai dengan apa yang menjadi sasarannya. Proses
pendidikan dan peltihan ini berwujud dalam berbagai bentuk sehingga dapat
mempengaruhi pemikiran, perasaan dan prilaku masyarakat ke arah yang baru dan
berbeda dari kondisi sebelumnya.
Dalam pelaksanaannya, praktek pemberdayaan ini masih juga menuai kritik
kegagalan.Kesalahannya bukan terletak pada konsepnya melainkan pada bagaimana
konsep tersebut ditafsirkan melalui pendekatan dan strategi.Pertama-tama,
adalah pemberdayaan memberdayakan manusia agar manusia dapat memberdayakan dirinya
dan lingkungannnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk kebutuhan
ekonomi.
Proses pemberdayaan juga dapat dipahami sebagai upaya dimana manusia
dapat mengelola dan mengembangkan potensi dirinya sebagai mahkluk sosial
ditengah kolektivitasnya dan alam disatu sisi. Mengolah dan mengembangkan
dirinya ditengah kolektivitasnya dan alam adalah ciri manusia yang
Praksis.Meminjam apa yang dikatakan Habermas dalam buku Menuju Masyarakat yang
Bebas dan Agresivitas menyebut ada dua hal praksis dalam kehidupan manusia
yakni komunikasi dan kerja.[7]Menurutnya Komunikasi adalah hal praksis manusia
dimana manusia membangun hubungan dngan sesamanya dan kerja adalah manusia
membangun hubungan
dengan alam.
Disinilah terdapat
sebuah hubungan relasional antara manusia dengan alam yang menurut Marx,
sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan ketika manusia melakukan aktivitas
kerja pemenuhan kebutuhan.“ ... alam merupakan badan inorganic manusia karena
alam bukanlah badan manusia, namun manusia hidup dari alam sehingga secara
fisik dan mental, terhubung dengan alam, sederhananya, alam berhubungan dengan
dirinya sendiri karena manusia bagian dari alam” Doug Lorimer lebih lanjut menjelaskan bahwa pengaruh alam atas
manusia semuanya terjdi secara spontan, tetapi pengaruh masyarakat pada alam
selalu sebagai hasil dari aktivitas manusia demi kehidupannya, yang
dilakukannya secara sadar.Disamping, memang bertujuan merubah alam, aktivitas
manusia juga diperoleh hasil-hasil yang tidak terbanyangkan sehingga, dalam
banyak kasus, kemudian menyebabkan manusia kehilangan banyak hal “ dengan
demikian pemberdayaan adalah sebuah konsep yang hendak melahirkan kesadaran
manusia tentang hakekat dirinya dan hakekat social serta alam.
Konsepsi dan dasar
pemikiran ini barangkali dijadikan sebagai sebuah rujukan dalam memaknai
pemberdayaan sebagai sebuah proses melalui cara-cara, pendekatan ataupun
strategi,komitmen dan strategi yang
diarahkan pada manusia sebagai central dari berbagai bentuk dan sasaran
interaksinya.
Dalam kaitan dengan Proses
pemberdayaan, Sutoro Eko
(2004) menyebutkan pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah paradigma baru yang
lebih terfokus pada masyarakat dan institusi lokal yang dibangun secara
partisipatif. Dikatakan bahwa masyarakat menempati posisi utama yang memulai,
mengelola, dan menikmati pembangunan sedangkan negara adalah fasilitator utama
dan membuka ruang yang kondusif bagi tumbuhnya prakarsa, partisipasi dan
institusi lokal.[8]
Pemahaman ini semakin
lebih operasional ketika kita bertolak dari apa yang dikatakan oleh Chambers
tersebut diatas. Hal ini ditegaskan pula misalnya dalam teori pertumbuhan ekonomi yang dipelopori oleh Adam Smith
(1776) kemudian diikuti oleh Malthus (1798) dan Ricardo (1917) yang berusaha mengkaji batas-batas pertumbuhan (limits to growth) menekankan
pada pentingnya akumulasi modal (physical
capital formulation) dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (human capital).[9]Teori
ini selanjutnya mencoba menemukan faktor-faktor lain di luar modal dan
tenaga kerja yang mendorong
pertumbuhan ekonomi masyarakat. Teori ini berpendapat bahwa
investasi sumber daya manusia
berpengaruh besar dalam meningkatkan
produktivitas.[10]
Artinya bahwa teori ini
sebenarnya menegaskan kembali pandangan di atas bahwa manusia adalah sumbernya,
menempatkan manusia sebagai inti dari proses pemberdayaan adalah modal
utama, yang apabila dikembangkan melalui intervensi pemberdayaan akan
menguatkan kapasitas manusia
seperti kreativitas, inovasi,
keterampilan, kebersamaan, kesetaraan, partisipasi, gotong royong, transparansi
dan akuntabilitas, yang merupakan
nilai-nilai sosial. Jadi modal sebenarnya tidak bisa dilihat dari sisi materi
semata, misalnya bantuan dana,
bantuan materi lain seperti beras tetapi juga interaksi
sosial serta dinamika
yang menyeratainya.
Dalam kaitan
dengan upaya penguatan kapasitas untuk mendorong produktifitas tenaga
kerja manusia melalui pemberdayaan, Becker (1964) juga menyebut hal itu dapat
didorong melalui pendidikan
dan pelatihan serta meningkatkan derajat kesehatan.
Disisi
lain berkembang berbagai pemikiran
untuk mencari alternatif lain
terhadap paradigma yang
semata-mata memberi penekanan kepada pertumbuhan, maka berkembang kelompok
pemikiran yang disebut sebagai paradigma pembangunan sosial yang bertujuan
untuk menyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadilan, serta memberi angin
segar dalam perubahan sosial yang
lebih dinamis dan
elegan.[11]
Teori atau konsep
pembangunan tersebut di atas
menggambarkan sebuah korelasi konseptual tentang pemberdayaan masyarakat dalam
pencapaian tujuannya yakni kesejahteraan
masyarakat. Bertolak dari uraian tersebut
di atas, maka muncul
konsep-konsep lain tentang pemberdayaan, misalnya dikemukakan oleh Merriam Webster dan Oxford English Dictionary, dengan
kata ” empower ” yang mengandung dua arti. Pengertian pertama
adalah to give power outhority dan
pengertian kedua berarti to give ability to or enable. Dalam
pengertian pertama diartikan sebagai
memberi, kekuasaan, mengalihkan kekuasaan, atau mendelegasikan otoritas ke
pihak lain. Sedangkan, dalam pengertian kedua, diartikan sebagai upaya untuk
memberikan kemampuan atau keberdayaan.
Sementara itu menurut
Sulistyani (2004)[12]
pemberdayaan sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh
daya / kekuatan / kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang
kurang atau belum berdaya. Hampir senada dengan ini, Djohani,(2003) dalam Oos
M. Anwas (2013)[13]
menyebut pemberdayaan adalah suatu
proses untuk memberikan
kekuasaan (power) kepada pihak yang lemah (powerless) dan mengurangi kekuasaan (disempowerd) kepada pihak yang terlalu berkuasa (powerfull) sehingga terjadi
keseimbangan. Berbeda dengan Rappaport (1984)
yang mengartikan pemberdayaan
sebagai suatu cara dimana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu
menguasai atau berkuasa
atas kehidupannya.[14]
Menurut Sutoro Eko (2004), konsep pemberdayaan
sebagai konsep alternatif pembangunan dapat dipahami sebagai proses
mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar
masyarakat lapisan bawah
terhadap kekuatan-kekuatan
penekan disegala bidang dan sektor
kehidupan. Disebutkannya bahwa
pemberdayaan adalah proses memfasilitasi warga masyarakat secara
bersama-sama pada sebuah
kepentingan bersama atau urusan yang secara kolektif dapat mengidentifikasi
sasaran, mengumpulkan sumber daya, mengerahkan
suatu kampanye aksi
dan oleh karena itu membantu menyusun
kembali kekuatan dalam
komunitas.[15]
Bertolak dari berbagai
konsepsi tentang pemberdayaan masyarakat tersebut diatas, Pemberdayaan adalah
sebuah proses dalam mana proses pemberdayaan itu dilakukan secara sengaja
melalui pola-pola tertentu dari kenyataan hidup masyarakat ke kenyataan hidup kekinian
untuk mempertemukan sebuah kondisi kehidupan yang memungkinkan seeorang dapat
beradaptasi dalam upaya membangun kehidupan yang mandiri, sejahtera dan
seimbang.
Proses pemberdayaan
tidak saja dilakukan kepada masyarakat baik personal ataupun kolektif yang
dalam kondisi lemh atau terbatas, misalnya kepada masyarakat yang secara ekonomi,aksesibilitas
yang masih sangat kurang, melainkan pemberdayaan dilakukan juga kepada yang
kuat sehingga terjadilah sebuah
pembatasan pada dominasi yang kadang bermuara pada kepentingan idiologis
tertentu yang tidak relevan pada kondisi local. Hal ini dimaksudkan agar tidak
terjadinya eksploitasi kehidupan social kea rah yang lebih dominative.
Hilangnya kearifan local bisa saja terjadi karena perubahan yang dilakukan
mengatasnamakan pemberdayaan tetapi secara substansial ia bermuara pada sebuah
idiologisasi yang amat dominative.
Pemberdayaan semsetinya
dipandang sebagai proses yang mampu mendorong yang lemah tetapi juga bisa
menekan yang kuat agar ketika yang lemah dipertemukan kepada yang kuat kondisi
kehidupan dapat dikatakan seimbang. Dalam konteks Indonesia mislnya
Pemberdayaan dilakukan dengan upaya mendorong yang lemah untuk menjadi kuat
tetapi pada saat yang sama yang kuat terus menjadi kuat karena arus modernisasi
dan peruses perubahan terus berjalan. Fenomena global saat ini merupakan sebuah
proses yang berkesinambungan, ia tidak bisa berdiri sendiri karena sifat
ketergantungan hidup dalam konteks relasi antar Negara menjadi sebuah mekanisme
kerja terstruktur. Disanalah berbagai kondisi ditemukan.sebuah Negara maju
setelah mengembangkan pola kehidupan yang modern dalam kacamata Negara
berkembang, akan menjadi suatu hal yang harus dipenuhi kelak dan pada saat yang
sama ketika Negara sedang berkembang mencapai target kemoderenan, ternyata
telah terjadi perubahan yang semakin maju di Negara pelopor.pada saat yang sama
pula yang modern itu menjadi yang tradisional karena disana Negara pelopor
telah mendahului sesuatu yang baru. Kondisi ini seakan memunculkan sebuah
situasi kehidupan yang saling kejar. Ditengah kejaran tersebut, terkadang
kehidupan berada dalam kondisi yang tidak siap maka munculah dilematika social
budaya. Orang kehilangan keseimbangan hidup.
Dengan adanya konsep
pembangunan masyarakat yang berasaskan pada kearifan local merupakan sebuah hal
yang barangkali dapat menjadi perhatian serius dimana proses pemberdayaan
masyarakat diarahkan pada potensi local. Potensi local itu bisa saja
digambarkan dalam kondisi kehidupan masyarakat misalnya melalui adat dan
kebiasaan, pandangan atau semboyan hidup masyarakat, kondisi relasi social
budaya, potensi alam yang dimiliki, potensi pasar dan system kerja jaringan
yang ada di tingkat lokalitas,. Potensi itu dapat diidentifikasi baik dari sisi
lemahnya ataupun sisi kuatnya, mana yang relevan dan mana yang tidak relevan,
mana yang bisa bersaing dan mana yang tidak bersaing.
[1] Ambar Teguh Sulistyani, 2004, Kemitraan Dan Model-Model Pemberdayaan
Masyarakat, hal.19
[2]Sulistiyan, Ambar Teguh, 2004,
Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan, Yogyakarta,Gava Media, edisi
Pertama, hal. 78
[3]Edi Suharto, Phd, 2005, Membangun
Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, Kajian strategis Pembangunan Kesejahtraan
Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung, PT Refika Aditama,.Hal.57-58
[4] Anwas,Oos M . 2013, Op.cit, hal 48
[5] Eko, Sutoro. 2004, Reformasi
Politik dan Pemberdayaan Masyarakat, APMD Press, Yogyakarta.Hal. 249
[6]afrisalwszaini.wordpress.com/2011/02/20/pembangunan-pemberdayaan-masyarakat/
di akses 28/05/2015
[8]Sutoro, Eko.2004, Ibid. Hal.
249
[9]Ibid
[10] Ibid
[11]Afrisalwszaini.Ibid.
[12] Ambar Teguh Sulistiyani 2004,
Op.cit. .hal.77
[13] Oos M.Anwas 2013, 0p.cit.
hal.49.
[14] Oos M Anwas. Ibid
[15]Sutoro Eko 2004, Op.cit. hal. 250