Monday, July 16, 2018

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT: SEBUAH KAJIAN PUSTAKA


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT:

SEBUAH KAJIAN PUSTAKA
Oleh: Hironimus Lagadoni Tukan





Pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah konsep alternatif pembangunan yang saat ini banyak dilakukan oleh hampir semua elemen masyarakat. Sebagai sebuah konsep alternatif pembangunan, pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah pendekatan atau strategi yang penting dalam  mengatasi kondisi kemiskinan masyarakat, keterbelakangan, keterisolasian, ketidakadilan, baik dari sisi kultural maupun struktural.

Berbagai fenomena ketidakberdayaan masyarakat muncul disetiap bidang kehidupan seperti ekonomi,Politik, pendidikan, kesehatan, sosial budaya, maupun sarana dan prasarana.

Untuk itu pemberdayaan dilakukan  untuk menciptakan kemandirian dan kesejahteraan hidup masyarakat baik secara pribadi maupun kolektif . Pemberdayaan dimaksudkan sebagai upaya membebasakan masyarakat dari berbagai tekanan kondisional baik disebebakan oleh keterbatasan sumber daya manusia ataupun sumber daya alam, sumber  daya social dan aksesibilitas.

Berbagai ketidak berdayaan ini merupakan suatu mata rantai yang saling berhubungan, saling mempengaruhi sebagai sebuah persoalan yang kausalistik. Inilah realitas kemiskinan yang sesungguhnya, sehingga pemberdayaan dimaknai sebagai upaya atau proses penanggulangan kemiskinan masyarakat dari berbagai sisi kehidupan. Sulistiyani (2004)[1]:19) menyebut bahwa fenomena kemiskinan yang terjadi di perkotaan dan di pedesaan membutuhkan interversi pemberdayaan. Tujuannya ialah untuk meningkatkan derajat hidup masyarakat, kesejahteraan dan keseimbangan di dalam banyak sisi kehidupan baik lingkungan fisik maupun sosial.

Secara konseptual menurut Sumodininggrat dalam Sulistiyani ( 2004)[2] kata pemberdayaan  merupakan  istilah  yang  khas  di Indonesia. Jika diartikan maka sebenarnya pemberdayaan adalah usaha yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain agar orang tersebut dapat berbuat secara lebih dari kondisi kehidupannya sebelumnya.

Dalam ilmu sosial tradisional kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol[3]. Sementara itu istilah kekuasaan juga seringkali identik dengan kemampuan individu untuk membuat dirinya atau pihak lain melakukan apa yang diinginkannya. Kemampuan tersebut baik untuk mengatur dirinya, mengatur orang lain sebagai individu atau kelompok/organisasi, terlepas dari kebutuhan, potensi atau keinginan orang lain. Dengan kata lain, kekuasaan menjadikan orang lain sebagai objek dari pengaruh atau keinginan dirinya.[4]

Margot Breton, 1994 dalam Sutoro Eko (2004)[5] menyebut gagasan pemberdayaan masyarakat berangkat dari realitas objektif yang merujuk pada kondisi struktural yang timpang dari alokasi kekuasaan dan pembagian akses sumber daya masyarakat. Konsep ini sebenarnya melihat pelaksanaan sistem pembangunan yang dilaksanakan oleh institusi dalam sebuah negara, daerah atau komunitas tertentu dimana konsep pembangunan yang dilaksanakan telah menimbulkan berbagai ketimpangan yang mengakibatkan kondisi masyarakat tidak sejahatera, terjadinya dominasi dan kewenangan dimana terdapat adanya pihak yang berkuasa dan pihak yang dikuasai. Dengan demikian praktek hegemonisasipun tercipta dalam pelaksanaan pembangunan.

Margot Breton menyebut pemberdayaan sebagai sebuah konsep yang dirumuskan menurut cara pandang developmentalisme (modernisasi) dengan menempatkan kegagalan atau ketimpangan dalam pembangunan sebagai akibat adanya faktor struktural. Hal ini dapat juga dimaklumi bila dikaji dari pengalaman pembangunan yang sentralistik dan top down di masa yang lalu. Dengan demikian pemberdayaan muncul sebagai gerakan yang merespon paradigma pembangunan ke arah yang diyakini mampu untuk mengakomodir pola pembangunan yang bersifat bottom up. Artinya proses pembangunan dilaksanakan mulai dari bawah.

Bila dikaji lebih jauh, sebenarnya letak dari ketimpangan sebagaimana yang disebutkannya di atas bukan hanya pada kondisi terjadinya ketimpangan dan sistem pembagian akses sumber daya melainkan pada kapasitas para pelaku pembangunan yakni manusianya. Sebab manusialah yang melaksanakan, menggerakan bahkan yang menciptakan institusi beserta mekanisme dan pembagian akses sumber daya. Ketimpangan kondisi struktural dan pembagian akses sumber daya merupakan akibat lanjutan dari kurangnya kapasitas yang dimiliki oleh para pelaku pembangunan. dari mana kurangnya kapsitas yang dimiliki oleh para pelaku maupun pelaksana pembangunan? tentu menjadi sebuah pertanyaan yang bisa kita jawab dari apa yang dikatakan oleh Margot berton tersebut di atas.

Disisi lain dampak dari hal tersebut memunculkan sikap apatisme, kurangnya partisipasi, rasa malas bahkan cemburu dan curiga. inakuntabilitas sehingga berdampak pada inevisiensi dan inefektivitas. Ketidakberdayaan masyarakat muncul dari ketidakberdayaan sosial yang lain sehingga turut memicu berbagai kesenjangan di berbagai aspek seperti aspek sikologis dan sebagainya.

Pemberdayaan dimaksudkan untuk memfasilitasi, mendorong, menggerakan dan menumbuhkembangkan potensi sumberdaya manusia, sumber daya alam dan sumber daya sosial untuk menciptakan kemandirian dan kesejahteran. Robert Chambers, (1995)  menyebutkan bahwa  pemberdayaan merupakan konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial, sehingga pemberdayaan menjadi sebuah konsep yang membangun paradigma baru yakni bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable”.[6]Teori ini merupakan sebuah refleki kritis Robert Chambers atas dinamika sosial yang meletakan bahwa manusia adalah subjeknya sekaligus mempertegas eksistensi manusia. Bertolak dari teori ini, maka proses pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui berbagai strategi dan pendekatan yang lebih menekankan pada manusia sebagai pelaku pembangunan dan dinamika lingkungan sosial yang mempengaruhi proses pemberdayaan tersebut. Pendekatan yang menekankan pada aspek manusia barangkali merupakan hal utama yang menentukan berhasil tidaknya sebuah pelaksanaan pembangunan termasuk kemandirian dan kesejahteraan yang berkesinambungan.

Eksistensi manusia sebagai mahkluk sosial merupakan sebuah hakikat yang ultim dimana eksistensi manusia tidak hanya ditentukan oleh dirinya sendiri melainkan dipengaruhi sebuah interaksi baik anatara manusia dengan manusia, tetapi juga manusia dengan lingkungan alam sekitarnya termasuk institusi sosialnya. Relasional antara manusia dengan manusia ataupun manusia dengan alam dan lingkungan sosialnya menjadi sebuah medan dimana manusia menemukan arti dan makna hidup bagi dirinya termasuk bagaimana upaya membangun kehidupan yang sejahtera termasuk kehidupan ekonomi.

Dalam konteks pemberdayaan masyarakat sebagaimana yang dikatakan Robert Chambers diatas, merupakan sebuah refleksi kritis atas dinamika pembangunan masyarakat yang selalu berusaha mengatasi persoalan kemiskinan dimana ekonomi merupakan sebuah tujuan baik sebagai penyebab maupun akibat dari apa yang dikatakan sebagai kemiskinan.

Dalam upaya mencapai kemandirian dan kesejahteraan hidup, ekonomi menjadi sebuah faktor dominan yang cenderung bahkan menjadi sentral dari perhitungan dan pengukuran tentang kesejahteraan seiring dinamika sosial masyarakat yang menggelobal ditengah arus persaingan idiologisasi industrialisasi dan modernitas dewasa ini.

Walau demikian persoalan ekonomi bukan merupakan hal yang tiba-tiba muncul dan berada pada dirinya sendiri melainkan hadir dan ada bersama dengan hakikat manusia sebagai mahkluk sosial yang selalu berinteraksi bahkan bergantung pada interaksi itu sendiri. Robert Chambers melalui teorinya tersebut mencoba untuk merangkum realitas yang hakiki dan menemukan pemberdayaan sebagai konsep yang dielaborasikan secara praktis.

Manusia adalah pencipta, pengembang, pemanfaat dan penikmat dari sebuah interaksi baik pada tataran konseptual maupun diranah praktis implementasi, semuanya bertujuan untuk memaknai dirinya dan kehidupannya.Jelaslah bahwa manusia adalah awal dan akhir dari sebuah interaksi yang membentuk diri dan hidupnya menjadi ada. Pemberdayaan hadir sebagai sebuah hasil reflektif manusia dari proses interaksi yang amat panjang dan multidimensional. Pemberdayaan juga hadir sebagai jembatan yang berusaha untuk menyamakan kondisi kehidupan manusia untuk bersaing dalam kanca global yang penuh dengan persaingan untuk menjadi malaikat pembela kaum miskin, tidak berdaya, keterbelakangan dan ketradisionalan.

Pemberdayaan hanyalah konsep yang membawa misi advokasi mengatasnamakan kesejahteraan ditengah ketertinggalan arus globalisasi.Ia bervisi humanis tetapi politis. Artinya bahwa  konsep pemberdayaan adalah sebuah kata yang mendekatkan manusia pada pengalaman praktis yang perlu disiasati dengan cara atau strategi dan pendekatan (Politis) yang dapat menjadi instrumen misalnya pendidikan dan pelatihan, yang dilakukan dengan pendampingan khusus sesuai dengan apa yang menjadi sasarannya. Proses pendidikan dan peltihan ini berwujud dalam berbagai bentuk sehingga dapat mempengaruhi pemikiran, perasaan dan prilaku masyarakat ke arah yang baru dan berbeda dari kondisi sebelumnya.

Dalam pelaksanaannya, praktek pemberdayaan ini masih juga menuai kritik kegagalan.Kesalahannya bukan terletak pada konsepnya melainkan pada bagaimana konsep tersebut ditafsirkan melalui pendekatan dan strategi.Pertama-tama, adalah pemberdayaan memberdayakan manusia agar manusia dapat memberdayakan dirinya dan lingkungannnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk kebutuhan ekonomi.

Proses pemberdayaan juga dapat dipahami sebagai upaya dimana manusia dapat mengelola dan mengembangkan potensi dirinya sebagai mahkluk sosial ditengah kolektivitasnya dan alam disatu sisi. Mengolah dan mengembangkan dirinya ditengah kolektivitasnya dan alam adalah ciri manusia yang Praksis.Meminjam apa yang dikatakan Habermas dalam buku Menuju Masyarakat yang Bebas dan Agresivitas menyebut ada dua hal praksis dalam kehidupan manusia yakni komunikasi dan kerja.[7]Menurutnya Komunikasi adalah hal praksis manusia dimana manusia membangun hubungan dngan sesamanya dan kerja adalah manusia membangun hubungan dengan alam.

Disinilah terdapat sebuah hubungan relasional antara manusia dengan alam yang menurut Marx, sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan ketika manusia melakukan aktivitas kerja pemenuhan kebutuhan.“ ... alam merupakan badan inorganic manusia karena alam bukanlah badan manusia, namun manusia hidup dari alam sehingga secara fisik dan mental, terhubung dengan alam, sederhananya, alam berhubungan dengan dirinya sendiri karena manusia bagian dari alam” Doug Lorimer lebih lanjut menjelaskan bahwa pengaruh alam atas manusia semuanya terjdi secara spontan, tetapi pengaruh masyarakat pada alam selalu sebagai hasil dari aktivitas manusia demi kehidupannya, yang dilakukannya secara sadar.Disamping, memang bertujuan merubah alam, aktivitas manusia juga diperoleh hasil-hasil yang tidak terbanyangkan sehingga, dalam banyak kasus, kemudian menyebabkan manusia kehilangan banyak hal “ dengan demikian pemberdayaan adalah sebuah konsep yang hendak melahirkan kesadaran manusia tentang hakekat dirinya dan hakekat social serta alam.

Konsepsi dan dasar pemikiran ini barangkali dijadikan sebagai sebuah rujukan dalam memaknai pemberdayaan sebagai sebuah proses melalui cara-cara, pendekatan ataupun strategi,komitmen dan strategi  yang diarahkan pada manusia sebagai central dari berbagai bentuk dan sasaran interaksinya.

Dalam kaitan dengan Proses pemberdayaan, Sutoro Eko (2004) menyebutkan pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah paradigma baru yang lebih terfokus pada masyarakat dan institusi lokal yang dibangun secara partisipatif. Dikatakan bahwa masyarakat menempati posisi utama yang memulai, mengelola, dan menikmati pembangunan sedangkan negara adalah fasilitator utama dan membuka ruang yang kondusif bagi tumbuhnya prakarsa, partisipasi dan institusi lokal.[8]

Pemahaman ini semakin lebih operasional ketika kita bertolak dari apa yang dikatakan oleh Chambers tersebut diatas. Hal ini ditegaskan pula misalnya dalam  teori pertumbuhan  ekonomi yang dipelopori oleh Adam Smith (1776) kemudian diikuti oleh Malthus (1798) dan Ricardo (1917) yang  berusaha mengkaji batas-batas pertumbuhan (limits to growth)  menekankan  pada pentingnya akumulasi modal (physical capital formulation) dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (human capital).[9]Teori ini selanjutnya mencoba menemukan faktor-faktor lain di luar modal dan tenaga  kerja yang  mendorong  pertumbuhan  ekonomi  masyarakat. Teori ini berpendapat  bahwa  investasi  sumber daya manusia berpengaruh besar  dalam  meningkatkan  produktivitas.[10]

Artinya bahwa teori ini sebenarnya menegaskan kembali pandangan di atas bahwa manusia adalah sumbernya, menempatkan manusia  sebagai  inti dari proses pemberdayaan adalah modal utama, yang apabila dikembangkan melalui intervensi pemberdayaan akan menguatkan  kapasitas  manusia  seperti  kreativitas, inovasi, keterampilan, kebersamaan, kesetaraan, partisipasi, gotong royong, transparansi dan  akuntabilitas, yang merupakan nilai-nilai sosial. Jadi modal sebenarnya tidak bisa dilihat dari sisi materi semata, misalnya bantuan  dana, bantuan  materi  lain seperti beras tetapi juga interaksi sosial  serta  dinamika  yang  menyeratainya.

Dalam  kaitan  dengan upaya penguatan kapasitas untuk mendorong produktifitas tenaga kerja manusia melalui pemberdayaan, Becker (1964) juga menyebut hal itu dapat didorong  melalui  pendidikan  dan pelatihan  serta  meningkatkan derajat kesehatan.

 Disisi  lain  berkembang berbagai  pemikiran  untuk  mencari alternatif  lain  terhadap  paradigma yang semata-mata memberi penekanan kepada pertumbuhan, maka berkembang kelompok pemikiran yang disebut sebagai paradigma pembangunan sosial yang bertujuan untuk menyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadilan, serta memberi angin segar dalam perubahan  sosial  yang  lebih  dinamis  dan  elegan.[11]

Teori atau  konsep  pembangunan  tersebut di atas menggambarkan sebuah korelasi konseptual tentang pemberdayaan masyarakat dalam pencapaian tujuannya  yakni kesejahteraan masyarakat. Bertolak dari uraian tersebut  di  atas, maka muncul konsep-konsep  lain  tentang pemberdayaan,  misalnya dikemukakan  oleh Merriam Webster dan Oxford English Dictionary, dengan  kata ” empower ” yang mengandung dua arti. Pengertian pertama adalah to give power outhority dan  pengertian  kedua  berarti to give ability to or enable. Dalam pengertian pertama  diartikan sebagai memberi, kekuasaan, mengalihkan kekuasaan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Sedangkan, dalam pengertian kedua, diartikan sebagai upaya untuk memberikan kemampuan  atau  keberdayaan.

Sementara itu menurut Sulistyani (2004)[12] pemberdayaan sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya / kekuatan / kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya. Hampir senada dengan ini, Djohani,(2003) dalam Oos M. Anwas (2013)[13] menyebut pemberdayaan adalah suatu  proses  untuk  memberikan  kekuasaan (power) kepada  pihak yang lemah (powerless) dan mengurangi kekuasaan (disempowerd) kepada pihak yang terlalu berkuasa (powerfull) sehingga terjadi keseimbangan. Berbeda dengan Rappaport (1984)  yang   mengartikan pemberdayaan sebagai suatu cara dimana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar  mampu  menguasai  atau  berkuasa  atas  kehidupannya.[14]

Menurut  Sutoro Eko (2004), konsep pemberdayaan sebagai konsep alternatif pembangunan dapat dipahami sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar  menawar  masyarakat  lapisan  bawah  terhadap  kekuatan-kekuatan penekan disegala bidang  dan sektor kehidupan. Disebutkannya  bahwa pemberdayaan adalah proses memfasilitasi warga masyarakat secara bersama-sama  pada  sebuah  kepentingan bersama atau urusan yang secara kolektif dapat mengidentifikasi sasaran, mengumpulkan sumber daya, mengerahkan  suatu  kampanye  aksi  dan  oleh  karena itu membantu  menyusun  kembali  kekuatan  dalam  komunitas.[15]

Bertolak dari berbagai konsepsi tentang pemberdayaan masyarakat tersebut diatas, Pemberdayaan adalah sebuah proses dalam mana proses pemberdayaan itu dilakukan secara sengaja melalui pola-pola tertentu dari kenyataan hidup masyarakat ke kenyataan hidup kekinian untuk mempertemukan sebuah kondisi kehidupan yang memungkinkan seeorang dapat beradaptasi dalam upaya membangun kehidupan yang mandiri, sejahtera dan seimbang.

Proses pemberdayaan tidak saja dilakukan kepada masyarakat baik personal ataupun kolektif yang dalam kondisi lemh atau terbatas, misalnya kepada masyarakat yang secara ekonomi,aksesibilitas yang masih sangat kurang, melainkan pemberdayaan dilakukan juga kepada yang kuat  sehingga terjadilah sebuah pembatasan pada dominasi yang kadang bermuara pada kepentingan idiologis tertentu yang tidak relevan pada kondisi local. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadinya eksploitasi kehidupan social kea rah yang lebih dominative. Hilangnya kearifan local bisa saja terjadi karena perubahan yang dilakukan mengatasnamakan pemberdayaan tetapi secara substansial ia bermuara pada sebuah idiologisasi yang amat dominative.

Pemberdayaan semsetinya dipandang sebagai proses yang mampu mendorong yang lemah tetapi juga bisa menekan yang kuat agar ketika yang lemah dipertemukan kepada yang kuat kondisi kehidupan dapat dikatakan seimbang. Dalam konteks Indonesia mislnya Pemberdayaan dilakukan dengan upaya mendorong yang lemah untuk menjadi kuat tetapi pada saat yang sama yang kuat terus menjadi kuat karena arus modernisasi dan peruses perubahan terus berjalan. Fenomena global saat ini merupakan sebuah proses yang berkesinambungan, ia tidak bisa berdiri sendiri karena sifat ketergantungan hidup dalam konteks relasi antar Negara menjadi sebuah mekanisme kerja terstruktur. Disanalah berbagai kondisi ditemukan.sebuah Negara maju setelah mengembangkan pola kehidupan yang modern dalam kacamata Negara berkembang, akan menjadi suatu hal yang harus dipenuhi kelak dan pada saat yang sama ketika Negara sedang berkembang mencapai target kemoderenan, ternyata telah terjadi perubahan yang semakin maju di Negara pelopor.pada saat yang sama pula yang modern itu menjadi yang tradisional karena disana Negara pelopor telah mendahului sesuatu yang baru. Kondisi ini seakan memunculkan sebuah situasi kehidupan yang saling kejar. Ditengah kejaran tersebut, terkadang kehidupan berada dalam kondisi yang tidak siap maka munculah dilematika social budaya. Orang kehilangan keseimbangan hidup.

Dengan adanya konsep pembangunan masyarakat yang berasaskan pada kearifan local merupakan sebuah hal yang barangkali dapat menjadi perhatian serius dimana proses pemberdayaan masyarakat diarahkan pada potensi local. Potensi local itu bisa saja digambarkan dalam kondisi kehidupan masyarakat misalnya melalui adat dan kebiasaan, pandangan atau semboyan hidup masyarakat, kondisi relasi social budaya, potensi alam yang dimiliki, potensi pasar dan system kerja jaringan yang ada di tingkat lokalitas,. Potensi itu dapat diidentifikasi baik dari sisi lemahnya ataupun sisi kuatnya, mana yang relevan dan mana yang tidak relevan, mana yang bisa bersaing dan mana yang tidak bersaing.



[1] Ambar Teguh Sulistyani, 2004, Kemitraan Dan Model-Model Pemberdayaan Masyarakat, hal.19
[2]Sulistiyan, Ambar Teguh, 2004, Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan, Yogyakarta,Gava Media, edisi Pertama, hal. 78
[3]Edi Suharto, Phd, 2005, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, Kajian strategis Pembangunan Kesejahtraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung, PT Refika Aditama,.Hal.57-58
[4]  Anwas,Oos M . 2013, Op.cit, hal 48
[5] Eko, Sutoro. 2004, Reformasi Politik dan Pemberdayaan Masyarakat, APMD Press, Yogyakarta.Hal. 249
[6]afrisalwszaini.wordpress.com/2011/02/20/pembangunan-pemberdayaan-masyarakat/ di akses 28/05/2015
[8]Sutoro, Eko.2004, Ibid. Hal. 249
[9]Ibid
[10]  Ibid
[11]Afrisalwszaini.Ibid.
[12] Ambar Teguh Sulistiyani 2004, Op.cit. .hal.77
[13] Oos M.Anwas 2013, 0p.cit. hal.49.
[14]  Oos M Anwas. Ibid
[15]Sutoro Eko 2004, Op.cit. hal. 250